-->

KALAH;


Aku pernah berpikir bahwa cinta adalah sesuatu yang bisa dimenangkan dengan ketulusan. Namun, semua itu terasa sia-sia ketika wanita yang aku cintai adalah seseorang yang tak pernah ingin melihatku sebagai lebih dari sekadar teman yang ada di sisinya. Kamu adalah misteri yang rumit, wanita yang tidak pernah membuka hatinya sepenuhnya untukku, dan meskipun aku tahu siapa dirimu sebenarnya, aku memilih untuk tidak peduli. Semua bisikan yang mengatakan bahwa kamu adalah wanita yang tak pantas untuk dicintai, bahwa kamu adalah seseorang yang hanya mempermainkan perasaan pria, semua itu kuabaikan demi satu harapan kecil bahwa mungkin, suatu hari, kamu akan melihatku dengan cara yang berbeda.

Tapi kenyataan selalu lebih keras dari harapan. Kamu tidak pernah peduli dengan perasaanku, dan setiap kali aku mencoba untuk mendekat, kamu selalu menarik dirimu kembali, seolah-olah takut bahwa aku mungkin akan menemukan sesuatu yang kamu sembunyikan. Kamu mengatakan bahwa aku tidak pantas jatuh cinta kepada wanita seperti dirimu,  semakin kamu mendorongku menjauh, semakin aku merasakan dorongan untuk tetap bertahan, seolah-olah ada sesuatu di dalam diriku yang menolak untuk menyerah begitu saja.

Ada saat-saat di mana aku bertanya-tanya, apakah semua ini sepadan? Apakah perasaan yang membakar ini layak untuk kuperjuangkan? Tapi kemudian, setiap kali aku mencoba untuk melangkah pergi, ada sesuatu yang menahanku, sesuatu yang berbisik di dalam hatiku bahwa mungkin, hanya mungkin, kamu akan melihatku dengan cara yang sama seperti aku melihatmu. "Cinta bukan tentang memiliki, tapi tentang memberi," kataku pada diriku sendiri, mencoba untuk merasionalisasi kegilaan ini.

Namun, semakin aku mencoba untuk tetap kuat, semakin aku merasa rapuh. Aku bukanlah seorang pemenang dalam cinta ini; aku hanyalah seorang pecundang yang tak pernah bisa memahami mengapa hatinya tertambat pada seseorang yang tak pernah ingin dimiliki. Kamu mungkin tidak peduli dengan perasaanku, dan aku tahu itu dengan jelas, tapi entah bagaimana, aku masih berharap bahwa ada bagian kecil dalam dirimu yang mungkin, suatu hari nanti, akan melihatku dengan cara yang berbeda.

"Jika aku hanya bisa menemuimu dengan cara seperti dulu," aku merenung dalam kesendirian, "mungkin aku akan memilih untuk tidak akan menemuimu lagi." Namun, meskipun pikiran itu terlintas, aku akan tetap mencarimu, akan tetap berharap bahwa meskipun aku tahu siapa dirimu, meskipun aku tahu bahwa kamu bukan seseorang yang bisa kumiliki, aku masih akan mencoba. Cinta ini, meskipun sia-sia, adalah satu-satunya hal yang membuatku merasa hidup. Setiap malam, aku merenung dalam diam, mencoba mencari makna di balik perasaanku ini. "Mengapa aku masih di sini?" tanyaku pada bintang-bintang di langit malam yang kelam. Tapi mereka hanya diam, seolah-olah menertawakan kebodohanku. Mereka tahu, seperti aku tahu, bahwa cinta ini hanyalah bayangan, fatamorgana yang tidak akan pernah menjadi kenyataan.

"Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri," aku pernah mendengar seseorang berkata, "karena cinta tidak bisa dipaksakan." Tapi bagaimana aku bisa tidak keras pada diriku sendiri ketika hatiku telah jatuh terlalu dalam? Namun bagaimana bisa aku mencari kebahagiaan di tempat lain, jika hatiku telah terpaku padamu? Kamu adalah segalanya yang aku inginkan, meskipun aku tahu itu salah. Kamu adalah candu yang perlahan-lahan menghancurkan hatiku, tapi aku tidak bisa berhenti. Setiap kali aku melihatmu, meskipun hanya sekilas, rasa cemburu dan sayang itu kembali menggelegak dalam diriku, mengingatkanku pada kenyataan pahit bahwa kamu mungkin sedang bersama pria lain, menikmati perhatian yang aku harap bisa aku berikan. Setiap kali aku mencoba untuk membuang semua ini, bayanganmu selalu kembali, menghantui setiap sudut pikiranku, mengingatkanku bahwa aku telah kalah dalam cinta ini.

Kamu adalah luka yang terbuka, yang setiap kali aku mencoba untuk menutupnya, hanya semakin lebar dan dalam. Kamu adalah mimpi yang indah dan mengerikan sekaligus, yang setiap kali aku terbangun, aku berharap itu hanya mimpi, tapi aku tahu itu kenyataan. Kamu adalah ketidaksempurnaan yang sempurna dalam hidupku, yang meskipun aku tahu harus kulepaskan, aku tidak bisa. Cinta ini adalah kekalahan yang paling indah dan paling menyakitkan yang pernah aku alami.

Aku cemburu pada setiap pria yang mungkin mendekatimu, yang mungkin mendapatkan perhatianmu, yang mungkin kamu izinkan untuk menyentuh hatimu, meskipun hanya sejenak. Aku tahu bahwa aku tidak akan pernah menjadi salah satu dari mereka, dan meskipun itu menyakitkan, aku tetap tidak bisa melepaskanmu. Rasa cemburu ini adalah api yang membakar tanpa henti di dalam diriku, tapi aku tidak ingin memadamkannya, karena itu adalah satu-satunya hal yang mengingatkanku bahwa aku masih hidup, bahwa aku masih bisa merasakan sesuatu.

"Apakah cinta itu kebodohan?" Aku pernah bertanya pada diriku sendiri. Tapi jika itu benar, maka aku adalah orang yang paling bodoh di dunia ini, karena aku telah menyerahkan hatiku pada seseorang yang tidak pernah bisa kumiliki, yang mungkin tidak pernah bisa mencintaiku seperti aku mencintainya. Namun, meskipun aku tahu itu, aku tidak bisa berhenti. Cinta ini dalah satu-satunya hal yang membuat hidupku berarti.

Kamu mungkin berpikir bahwa aku gila, dan mungkin itu benar. Tapi aku lebih memilih untuk menjadi gila karena cinta daripada hidup tanpa merasakan apa-apa. Kamu adalah keindahan yang menghancurkan, yang meskipun aku tahu akan membawa kehancuran pada diriku, aku tetap tidak bisa menolak. Setiap kali aku melihatmu, aku merasa seperti pecundang yang tidak akan pernah bisa memenangkan hatimu, tapi aku tetap tidak bisa pergi.

"Cinta adalah perang," kata seseorang, "dan dalam perang, tidak ada yang benar-benar menang." Aku mengerti sekarang apa yang dimaksud dengan itu. Aku telah berperang melawan perasaanku sendiri, melawan kenyataan bahwa kamu tidak akan pernah menjadi milikku, dan dalam perang ini, aku telah kalah. Tapi meskipun aku kalah, aku tetap merasa bahwa aku harus bertahan, karena tanpa cinta ini, hidupku akan kosong, tidak berarti. Jika kita bertemu lagi, aku akan tetap memilih untuk mencintaimu, meskipun aku tahu itu salah, meskipun aku tahu itu akan membawa lebih banyak penderitaan daripada kebahagiaan. Karena pada akhirnya, cinta bukan tentang memiliki, tapi tentang merasakan, tentang merelakan diriku untuk merasakan segala sesuatu yang ada di dalam hatiku, meskipun itu hanya akan membawa luka.

Aku bertanya dalam hening, berharap bahwa mungkin, hanya mungkin, ada bagian dari dirimu yang pernah merasakan apa yang aku rasakan. Tapi aku tahu jawabannya; aku tahu bahwa cinta ini hanyalah milikku, bahwa kamu tidak pernah merasakannya, bahwa kamu hanya melihatku sebagai seseorang yang tidak pernah bisa kau cintai. Tapi meskipun begitu, aku tetap memilih untuk mencintaimu, untuk merasakan setiap detik dari cinta ini, meskipun itu berarti aku harus menahan setiap rasa sakit, setiap rasa cemburu, setiap rasa rindu yang aneh yang selalu datang tanpa diundang. Kamu adalah angin yang lewat, yang menyentuh hatiku dengan lembut dan kemudian pergi, meninggalkanku dalam kesendirian yang dalam. Kamu adalah hujan yang membasahi hatiku, yang mengingatkanku pada setiap detik bahwa aku telah kalah, bahwa aku tidak akan pernah bisa memenangkan hatimu. Tapi meskipun begitu, aku tetap ingin merasakan semuanya, karena itulah satu-satunya cara aku bisa merasa hidup.

Aku tahu bahwa aku bukan pria yang akan membuatmu jatuh cinta, bahwa rupa ku yang pas-pasan ini tidak pernah menjadi alasan bagimu untuk mencintaiku. Tapi aku tidak peduli. Cinta ini adalah pilihan, dan aku telah memilih untuk tetap mencintaimu, meskipun itu berarti aku harus menahan setiap rasa cemburu, setiap rasa sakit, setiap rasa rindu yang tak terbalas.

Ada malam-malam ketika aku terjaga dalam keheningan yang pekat, pikiranku berputar tanpa henti, terjebak dalam labirin pertanyaan yang tak berujung. Aku teringat kembali momen-momen awal ketika kita pertama kali bertemu, saat senyumanmu masih hangat dan tatapanmu penuh rasa ingin tahu. Aku bertanya-tanya, apakah semua itu nyata? Apakah saat itu kamu benar-benar melihatku dengan rasa ketertarikan yang sama seperti yang kurasakan padamu? Atau mungkinkah semua itu hanya ada dalam pikiranku, sebuah ilusi yang kubangun sendiri untuk melarikan diri dari kenyataan yang pahit? Setiap detail kecil yang pernah kita alami bersama terulang kembali di kepalaku, seperti film yang diputar ulang tanpa henti, tawa kecilmu, caramu menyelipkan rambut ke belakang telinga, cara matamu bersinar saat kamu berbicara tentang sesuatu yang kamu sukai. Semua itu kini terasa jauh dan dingin, seolah-olah semua hanya mimpi yang samar dan tidak pernah benar-benar terjadi.

Setiap kali aku mengangkat ponsel untuk menghubungimu, ada rasa takut yang selalu menghantui di sudut pikiranku. Jari-jariku sering kali berhenti di tengah jalan, ragu untuk menekan tombol 'kirim'. Aku takut, takut kalau pesan singkatku akan menjadi beban bagimu, gangguan di tengah kesibukanmu, atau lebih buruk lagi, sesuatu yang tidak kau inginkan. Pikiran itu seperti duri yang menusuk perlahan-lahan, membuatku bertanya-tanya apakah aku hanya menjadi penghalang dalam hidupmu, seseorang yang keberadaannya hanya menambah kekacauan dalam harimu yang mungkin sudah penuh dengan masalah. Aku takut kalau kehadiranku hanya akan menambah berat langkahmu, membuatmu semakin menjauh dariku. Meski hatiku penuh dengan kerinduan yang tak tertahankan untuk mendengarmu, untuk memastikan bahwa kamu baik-baik saja, aku lebih sering memilih untuk diam. Lebih baik aku menahan diri daripada mengambil risiko mengganggumu, karena aku tahu betapa tipisnya benang yang menghubungkan kita, benang yang bisa putus kapan saja jika aku menariknya terlalu keras. Dalam kesunyian ini, setiap hari aku memutar ulang berita yang ku dengar dengan hati yang berat, mencoba memahami kebenarannya tanpa bisa bertindak.

Mungkin saja ini hanya rumor yang kau buat, atau bahkan jika itu benar-benar terjadi, aku masih tak tahu bagaimana harus merasa tentang kabar ini. Apakah ini sebuah kabar baik atau buruk? Apakah benar atau tidak, aku tak bisa memastikannya. Di satu sisi, aku sadar bahwa ini adalah salah satu impianmu yang akhirnya terwujud, sesuatu yang selama ini mungkin kau idam-idamkan, sebuah awal yang baru dengan seseorang yang kau pilih untuk menjadi bagian dari hidupmu. Aku seharusnya ikut bahagia, bukan? Seharusnya aku merasa lega melihatmu mencapai salah satu tujuan hidupmu, melihatmu melangkah ke depan dengan penuh keyakinan. Namun di sisi lain, ada bagian dari diriku yang hancur berkeping-keping, terluka oleh kenyataan bahwa impian itu tak pernah bisa melibatkan aku di dalamnya. Semua harapan yang pernah aku simpan dalam hati, semua bayangan tentang masa depan yang pernah aku impikan bersama kamu, kini berubah menjadi debu yang beterbangan tak tentu arah, hilang tanpa jejak, tanpa ada satu pun yang tersisa untuk kupegang.

Semua hal yang pernah membuatku bahagia kini terasa hambar, tanpa warna, tanpa makna. Aku mencoba menenangkan diriku dengan berpikir bahwa ini semua adalah bagian dari rencana yang lebih besar, bahwa mungkin, suatu hari nanti, aku akan melihat ke belakang dan memahami mengapa semua ini terjadi. Tapi hari itu terasa begitu jauh, hampir seperti fatamorgana di tengah gurun, sesuatu yang hanya bisa kulihat dari kejauhan tanpa pernah benar-benar bisa kucapai. Aku sering bertanya pada diriku sendiri, apakah aku bisa benar-benar mengikhlaskanmu? Apakah aku bisa melanjutkan hidupku tanpa bayanganmu yang selalu mengikuti di setiap langkahku?

Aku tahu jawabannya seharusnya adalah 'ya'. Aku seharusnya bisa melanjutkan hidup, seharusnya bisa merelakanmu dan menemukan kebahagiaan di tempat lain. Tapi setiap kali aku mencoba, setiap kali aku berusaha untuk benar-benar melepaskanmu, ada rasa sakit yang kembali menghantamku dengan kekuatan yang tak terduga. Seolah-olah hatiku menolak untuk menerima kenyataan ini, menolak untuk percaya bahwa kau benar-benar akan menjadi milik orang lain. Dan lebih buruknya lagi, aku merasa tak ada lagi yang tersisa untukku. Aku merasa tersesat, tak tahu ke mana harus melangkah selanjutnya. Mungkin ini adalah harga yang harus kubayar karena mencintaimu terlalu dalam, karena menaruh semua harapanku padamu, pada seseorang yang tak pernah bisa membalas perasaanku dengan cara yang sama.

Setelah semua yang terjadi, izinkan aku menarik mundur tulisan ini. Ada saat-saat di mana pikiranku kembali muncul, mencoba mengurai kalimat yang kusimpan rapi dalam ingatanku. Mungkin kita sedikit munafik, betapa aku tidak menyukai pilihanmu untuk menghabiskan malam-malammu dengan cara yang berbeda. Itu adalah sesuatu yang selalu menyakitiku, yaa aku membencinya, meski aku tak pernah benar-benar tahu bagaimana cara menyampaikan perasaanku tanpa menyakiti hatimu. Kamu pun tak pernah suka jika aku membahas hal itu; setiap kali topik itu muncul, kamu akan menutup diri, seolah-olah pembicaraan tersebut adalah batas yang tidak boleh kulewati. Dan mungkin, kamu memang benar. Siapa aku yang berani mencampuri pilihan hidupmu? Siapa aku yang bisa memahami sepenuhnya apa yang kau alami? Namun, aku bingung untuk menyikapi hal ini. Di satu sisi, kamu seringkali mengeluhkan akan semua hal ini, namun tetap menjalani rutinitas yang sama, seolah-olah ada beban yang tak bisa kamu lepaskan. Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap atau apa yang harus kulakukan untuk membantumu. Aku ingin sekali mendukungmu, tetapi terkadang, terasa seperti aku hanya menambah bebanmu, bukan membantu. Dalam kebingungan ini, aku teringat sebuah kalimat yang pernah aku dengar: “Aku masih belum punya kapasitas untuk menarik tanganmu menuju tempat yang lebih baik, namun jika kamu butuh teman di dalam tempat yang gelap itu, aku ada di situ.” Kalimat itu seolah-olah mengingatkanku tentang tempatku di hidupmu, di sisi gelap yang mungkin hanya bisa kuisi dengan kehadiran tanpa bisa mengubah apa pun.

Meski begitu, perasaan ini tak pernah hilang, malah semakin mendalam setiap kali aku memikirkannya. Saat aku membuka hatiku kembali, ada kebingungan yang selalu membayangiku. Setiap kata, setiap tindakanmu, aku selalu bertanya-tanya apakah itu benar-benar untukku, ataukah hanya perlakuan yang kau berikan juga kepada lelaki lain, aku sudah tak mampu untuk membedakanya. Aku tidak tahu apakah perasaan hangat yang kau tunjukkan kepadaku adalah sesuatu yang istimewa, atau hanya bagian dari permainan yang sudah terlalu sering kau mainkan. Kekhawatiran itu terus membebani pikiranku, membuatku merasa tersesat yang tak pernah benar-benar jelas arahnya. Mungkinkah aku hanya salah satu dari banyak lelaki yang mencoba mendekatimu, atau mungkin aku hanya menjadi bagian dari permainan yang tak pernah kumengerti?.

Dan jika memang kabar itu hanya rumor, hatiku terasa terombang-ambing di antara harapan dan rasa takut. Apa yang seharusnya kulakukan? Haruskah aku mencoba lagi? Tapi bagaimana jika semua ini hanya permainan yang kamu ciptakan untuk menguji? Membuatku ragu untuk melangkah maju atau mundur. Aku tahu, mungkin aku bukan orang yang tepat untukmu, dan mungkin kamu juga sudah menyadarinya sejak awal. Namun, ada bagian dari diriku yang tak ingin menyerah begitu saja. Aku tak ingin benar-benar kalah, tak sampai kamu mendapatkan apa yang kamu inginkan. Meskipun setiap langkah yang kuambil terasa seperti perjuangan yang sia-sia, aku tetap bertahan, menggenggam sisa-sisa harapan yang semakin menipis.

Tetapi jika aku harus menghadapi kenyataan bahwa kabar itu benar adanya, aku mencoba untuk berpikir bahwa ini adalah akhir dari satu bab dalam hidupku, dan bahwa aku harus menulis bab yang baru, bab yang tak lagi melibatkanmu. Tapi bagaimana bisa aku menulis bab baru ketika hatiku masih terjebak dalam cerita yang lama? Bagaimana bisa aku melanjutkan hidup ketika setiap bagian dari diriku masih berharap bahwa kau akan berubah pikiran, bahwa kau akan kembali padaku dan mengatakan bahwa semuanya adalah kesalahpahaman?

Kini, apakah aku benar-benar kalah? Aku tak hanya kalah dalam mencintaimu, tapi juga kalah dalam mempertahankan diriku sendiri. Aku kalah dalam menjaga harapan, dalam mempertahankan mimpi-mimpi yang pernah kuanggap sebagai hal yang indah di waktu yang akan datang. Dan yang lebih menyakitkan lagi, aku selalu kalah dalam percintaan, aku merasa seperti pecundang, seseorang yang selalu ditinggalkan begitu saja tanpa pernah mendapat kesempatan untuk benar-benar berjuang. Kau bukan yang pertama, dan mungkin bukan yang terakhir, tapi rasa sakit ini terasa jauh lebih menyiksa, lebih dalam daripada yang pernah kurasakan sebelumnya. Mungkin karena aku benar-benar mencintaimu, dengan cara yang belum pernah kualami sebelumnya, atau mungkin karena aku menaruh terlalu banyak harapan pada cinta ini, berharap bahwa kali ini, segalanya akan berbeda. Aku kalah dari seseorang yang bahkan tak pernah kutemui, seseorang yang berhasil memenangkan hatimu dengan cara yang tak pernah bisa kulakukan. Dan jika memang kabar itu benar adanya, itu adalah palu terakhir yang menghancurkan semua pertahanan yang pernah kubangun. Aku tak bisa lagi bersembunyi di balik senyuman palsu yang setiap kali ku berikan pada dunia di pagi hari, tak bisa lagi berpura-pura bahwa aku baik-baik saja. Aku tak bisa lagi menahan air mata yang terus mengalir, menandakan betapa hancurnya hatiku mengetahui bahwa kau tak akan pernah menjadi milikku.

Namun jika semuanya telah usai, mungkin aku akan kembali pada kebiasaan ku sebelumnya, hidup dalam kesunyian dan menyibukkan diri dengan rutinitas yang pernah membuatku merasa nyaman, sebelum aku mengenalmu, sebelum cinta ini mengacaukan segalanya. Mungkin aku akan menutup hati ini kembali, menutup semua pintu yang pernah kubuka dengan harapan bahwa suatu saat, seseorang akan masuk dan mengisi ruang kosong di dalamnya. Kini, ruang itu telah tertutup rapat, tak ada lagi celah untuk harapan atau cinta. Aku akan kembali menjalani hidupku seperti sebelumnya, tanpa kamu, tanpa bayang-bayangmu, tanpa mencintai dan cintai. Mungkin, dengan waktu, luka ini akan sembuh dan aku akan belajar menerima kenyataan bahwa aku tak pernah benar-benar memiliki kamu. Dan meskipun hati ini terluka, meskipun aku telah kalah dalam cinta, aku akan terus berjalan, dengan langkah yang mungkin lebih pelan dan hati yang lebih dingin, namun tetap berusaha untuk menemukan kedamaian dalam kekalahan ini. 

Dan jika memang semuanya belum usai, bolehkah aku berusaha kembali? Bolehkah aku mengulang perjalanan ini sekali lagi, meski penuh dengan keraguan dan ketidakpastian? Bolehkah aku memperjuangkan cinta ini lagi? Bolehkah aku mencoba memperbaiki segala sesuatu yang telah goyah, mengembalikan segala yang hilang? Aku tahu, mungkin semua ini terdengar seperti harapan yang naif, namun dalam hati yang penuh dengan cinta dan kerinduan, ada dorongan untuk terus berjuang, untuk memperbaiki yang telah rusak, dan untuk memberikan segalanya yang aku punya. Jika masih ada kesempatan, meskipun kecil, aku ingin memanfaatkannya untuk membuktikan bahwa cinta ini masih layak untuk diperjuangkan. Seblumnya memang aku sangat tergesa-gesa, kali ini aku akan menafsirkannya secara perlahan, dengan penuh perhatian, agar kamu benar-benar mengerti bahwa aku mencintaimu dengan sepenuh hati. Meskipun perjalanan ini mungkin penuh dengan kesulitan dan sakit hati, aku siap menghadapi semua itu, asalkan ada harapan untuk membangun kembali;